Oleh: Iman Haris M

“Entah bagaimana, warga Gaza berhasil bertahan hidup dan melanjutkan kehidupan, dari satu perang ke perang lainnya. Tapi kali ini berbeda. Jika Gaza hancur kali ini, berarti dunia pun turut hancur.”
— Bisan Owda, Jurnalis Gaza
Tiga pekan terakhir, dunia menyaksikan kembali kehancuran yang sama—hanya lebih dahsyat, lebih brutal, lebih sunyi. Rafah, tempat yang dulunya dianggap relatif aman di Jalur Gaza, kini menjadi kuburan massal yang terbuka.
Lebih dari satu juta orang, yang sebelumnya melarikan diri dari utara Gaza, kembali terusir, terluka, atau terbunuh di sana. Rumah sakit dibom, tenda-tenda pengungsi terbakar, dan suara anak-anak yang menangis semakin jarang terdengar—bukan karena mereka sudah aman, tapi karena telah terkubur di balik reruntuhan.
Kadang kita bertanya, kenapa semua ini tak kunjung berakhir?
Jawabannya terserak di gedung-gedung tinggi, jauh dari Gaza—di New York, Washington DC, London. Di meja-meja kekuasaan yang penuh lobi, negosiasi dan veto.
Amerika Serikat, sejak lama menjadi sekutu utama Israel, telah lebih dari 45 kali menggunakan hak vetonya untuk menggagalkan resolusi Dewan Keamanan PBB yang mencoba menghentikan kekerasan. Pada 18 Februari 2024, AS kembali memveto resolusi gencatan senjata di Gaza, meskipun 13 dari 15 anggota Dewan Keamanan mendukung. Bahkan saat dunia menjerit meminta gencatan senjata, Amerika tetap angkuh, menolak, dan mematikan harapan.
Para pemimpin dunia menjajakan kecaman, mencari perhatian, lalu kembali tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Hidup berjalan seperti biasa, seakan tak terjadi apa-apa.
Sementara itu, di tenda-tenda pengungsian yang makin sempit, warga Gaza tidak lagi menunggu bantuan. Mereka hanya menunggu giliran. Blokade total telah menghancurkan bukan hanya bangunan, tapi juga fondasi dasar kehidupan: air, makanan, listrik, obat-obatan.
Anak-anak kekurangan gizi, ibu-ibu melahirkan tanpa peralatan medis, dan setiap hari, langit yang berwarna merah menyala mengabarkan satu hal: kematian semakin dekat.
Tetapi ini bukan sekadar cerita tentang Gaza. Ini adalah cermin gelap bagi dunia.
Tragedi kemanusiaan di Gaza memiliki sejarah panjang. Tak seperti banyak diberitakan media, akar konflik ini bukan baru bermula pada 7 Oktober 2023.
Jauh sebelumnya—pada 1917, ketika Inggris melalui Deklarasi Balfour menjanjikan tanah Palestina kepada kelompok Zionis. Lalu, atas dorongan Inggris, PBB mengeluarkan Resolusi 181 pada 1947, yang membagi wilayah Palestina menjadi dua negara—Yahudi dan Arab. Rencana tersebut memberikan 55% wilayah kepada negara Yahudi meskipun jumlah penduduk Yahudi saat itu jauh lebih sedikit dari warga Arab Palestina. Yerusalem direncanakan menjadi wilayah internasional.
Namun, keserakahan Israel seolah tak pernah terpuaskan. Sejak pengakuan PBB tersebut, Israel terus memperluas wilayahnya, hingga kini menguasai lebih dari 85% tanah Palestina, ironisnya, semuanya terjadi di hadapan bungkamnya dunia.
Apa yang sedang terjadi di Gaza hari ini adalah kelanjutan dari pendudukan panjang yang dilegalkan oleh keheningan dunia. Genosida tidak datang tiba-tiba; ia dibentuk oleh kompromi, dibesarkan oleh retorika “hak membela diri,” dan dibiarkan tumbuh oleh rasa tak berdaya yang dibungkus diplomasi.
Jika Gaza tidak bertahan kali ini, maka yang hancur bukan hanya satu kota, bukan hanya satu bangsa. Yang hancur adalah seluruh bangunan kemanusiaan yang selama ini kita anggap sebagai fondasi peradaban dunia.
Yang hancur adalah harapan bahwa dunia bisa belajar dari sejarah, bahwa hukum internasional bisa melindungi yang lemah, bahwa kehidupan manusia lebih berharga dari strategi geopolitik.
Dan jika kita membiarkan itu semua runtuh hari ini, maka kita sedang menciptakan dunia baru—dunia tanpa empati, tanpa keadilan, tanpa keberanian untuk mengatakan: ini salah.
Gaza bukan hanya tempat. Ia adalah tugu peringatan.
Dan jika peringatan ini kita abaikan, maka kita tidak sedang menuju masa depan. Kita tengah mundur ke masa lalu yang lebih gelap dari sebelumnya.
Jika para pemimpin memilih untuk bungkam, setidaknya kita bisa memilih untuk bersuara.
“Jika Gaza tak bertahan kali ini, maka ini bukan sekadar kekalahan geografis atau politik. Ini adalah kegagalan kolektif kita sebagai umat manusia.”
Artikel ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Jika Gaza Tak Bertahan Kali Ini.”